Senin, 31 Maret 2008

BENIH CINtAKU

Menatap matamu..
Ibarat menikmati sejuknya embun di
pagi hari,
yang menghadirkan sejuta nyanyian mengucap takjub di
dalam hati..


Memandang parasmu.. Laksana menatap rembulan dimalam purnama, walaupun sejuta cahaya yang hadir takan mampu menggantikan cahayamu..
Memandang tubuhmu..
Menciptakan sepercik api yang membakar gejolak jiwaku.. Hatiku runtuh dan terjatuh, menjadi benih ditaman hatimu Biarkan ia tumbuh, bersemi dan kan kita kan menikmati buahnya..

ANGIN KEHIDUPAN


Bumi yang agung meniupkan hawa.

Hawa ini disebut angin.

Bila angin tak bertiup, tak terjadi apa-apa.

Tapi bila angin bertiup, selaksa lubang dan lowong menderu liar.

Tidakkah kau dengar jeritannya yang tak kunjung henti?

Di gunung tinggi dan bukit rendah ada hutan yang lebat.

Di hutan ini ada pohon-pohon yang batangnya begitu besar hingga seratus orang bisa mengelilinginya.

Pohon-pohon ini punya lubang seperti hidung, mulut, telinga, kendi, cangkir, lesung, kolam yang dalam, dan danau kecil yang dangkal.

Sewaktu angin bertiup, lubang-lubang ini meraung laksana ombak dan bersuit bagai anak panah lepas dari busurnya.

Ada yang menjerit, ada yang seperti menarik nafas berat, ada yang menangis, ada yang meratap, ada yang tertawa, dan ada yang menghela nafas.

Yang paling keras nyaring bersuara “iii” dan yang mengikuti lantang menggemakan “wuuu”.

Bila anginnya lembut bertiup sepoi, keselarasannya sungguh redup.

Namun, saat angin ribut paduan suaranya memekakan telinga.

Saat angin berhenti berhembus semua lubang menjadi kosong dan sunyi kembali menyengat. Pernahkah kau melihat suasana hutan yang berayun dan bergoncang seperti itu?

Jumat, 28 Maret 2008

FAITHFUL DOG IN EXPOSE


Shibuya Station, seperti biasa, begitu padat oleh manusia. Ada Patung Hachiko, anjing setia yang konon selalu menanti majikannya pulang dari kantor dan turun dari kereta di stasiun Shibuya. Suatu hari majikannya meninggal tiba-tiba di kantornya, dan tentu saja jasadnya dibawa pulang dengan ambulans. Dia tidak lagi bisa pulang dengan kereta yang mengantarnya ke Shibuya. Hachiko tidak mengetahui hal itu. Ditunggunya tuannya yang tak kunjung keluar dari pintu stasiun. Terus-menerus, berhari-hari, berminggu-minggu. Hachiko tidak mau beranjak dari tempatnya menunggu, hingga akhirnya tewas. Orang-orang tersentuh melihat kesetiaan Hachiko, dan mereka membuat patungnya untuk mengenang kesetiaan Hachiko. Bahkan sebuah film lama di tahun 1987 dan tahun 2004 tentang Hachi-ko muncul.Bermula dari kelahiran seekor anjing berjenis AKITA, di sebuah desa bernama ODATE provinsi AKITA sekitar bulan november 1923. Waktu anjing akita ini berumur 2 bulan, dia di bawa ke tokyo oleh pemiliknya sekaligus sahabat sejatinya Prof.Eisaburo Ueno. Sang profesor bekerja di Universitas Tokyo di departement pertanian. Distrik [desa] dibagian kota tokyo, SHIBUYA dimana mereka berdua menempati kisah persahabatan abadi ini. Prof.Ueno suka memangggil anjing Akita-nya dengan sebutan HACHI yang berarti delapan. Ko yang ada di belakang nama HACHI-KO adalah nama tambahan untuk orang jepang yang berarti anak. Dengan demikian Profesor mengakui Hachiko sebagai keluarga dia, serta teman terbaiknya. Hachiko kecil suka makanan YAKITORI [sate ayam]. Selama satu tahun lebih hachiko selalu menunggu kepulangan sang profesor di stasiun Shibuya. Hachiko sudah terbiasa dengan menunggu kepulangan profesor yang bekerja di bagian lain kota tokyo. Hingga tragedi pada 21 mei 1925, profesor ueno terkena stroke di tempat dia bekerja. Profesor meninggal di universitas Tokyo sebelum sempat pulang menemui hachiko. Kematian Ueno pun membuat hachiko harus diambil alih oleh saudara Ueno. Hachiko hidup dengan saudara Ueno beberapa mil dari stasiun Shibuya, tempat hachiko menunggu kepulangan Ueno.Suatu hari Hachiko merasa kesepian, dia pergi dari rumah barunya menuju stasiun Shibuya dengan keinginan bertemu sahabat nya, Profesor Ueno. Banyak kisah yang berbeda pada kesetiaan Hachiko menunggu sahabat nya di stasiun Shibuya, aku mengira hachiko menunnggu sahabatnya selama 8 tahun.Seorang tukang kebun profesor bernama KIKUZABURO KOBAYASHI melihat berhari-hari hachiko yang setia menunggu sahabatnya di satasiun Shibuya serta melihat kesetiaan sekor anjing kepada masternya, merasa kagum. Kikuzaburo selalu memberi makan kepada hachiko sesuai dengan apa yang diberi profesor, yakitori dan stomach. Tahun 1928, stasiun Shibuya mengalami perombakan total. Disana Hachiko berlarian di setiap fasillitas SHIBUYA baru tetap setia kepada masternya. hachiko tetap menunggu ueno, tidur di salah satu sisi toko didalam stasiun untuk sahabatnya.Ditahun yang sama, ada seorang peneliti anjing jenis Akita dimana dia adalah salah satu murd UENO. Dia kebetulan melihat pemandangan menarik tentang hachiko, yang juga anjing jenis AKITA. Dia mengamati bagaimana hachiko menunggu masternya di stasiun hingga mengikuti hachiko ke rumah kobayashi. Dari kobayashi, murid Ueno itu mendapat informasi tentang hachiko. Dia pun mulai menulis artikel tentang hachiko.Berita tentang hachiko pun mulai menyebar di negeri jepang. "Faithful Old Dog Awaits Return of Master Dead for Seven Years" adalah berita yang dimuat di harian ASAHI pada 4 oktober 1933. Hachiko pun semakin tenar dan semakin tersohor hingga pelosok negeri jepang.Tahun 1934 didirikan patung Hachiko di depan stasiun SHIBUYA. Mengalami perombakan pada tahun 1948 karena perang dunia ke II. Hachiko meninggal pada 8 maret 1935. tetapi hachiko masih setai menunggu Profesor Ueno di pintu keluar stasiun shibuya yang bernama PINTU HACHIKO SHIBUYA, duduk seperti 70 tahun lalu menunggu ueno pulang. Patung Hachiko sendiri kini terdapat 3 buah, satu dishibuya, Akita serta tempat kelahiran hachiko Odeta.Hachiko menjadi simbol jepang untuk sebuah kesetiaan. Setiap tanggal 8 april tepat di depan musium hachiko selalu diadakan perayaan kepada hachiko. Patung hachiko sendiri yang ada di Shibuya sebagai tempat menunggu yang paling digemari di jepang.

Kenapa q Sayang Diya


Pernah ga kalian ngerasa atau bertanya dalam hati. Kenapa kita bias saying sama orang itu?Itu yang lagi gw pikirin akhir2 ini. Gw Icha yang lagi saying sama cowo bernama Pandu. Pertama gw ketemu, udah ada rasa yang ga pernah gw rasain sebelumnya.Hari ini gw mau ke skul ngejalanin aktivitas kayak biasa, semangat banget gw hari ini coz pastinya gw ketemu sama Pandu (hehehe)Di skul jam ke3 pelajaran gw kosong coz guru gw lagi shopping githu…kebetulan Pandu gy jam OR, pastinya gw kluar klaz mulu..Pas di klaz temen gw Sera nagih janji sama gw “cha,gw tagih janji sama lo !!” omong dia sambil narik baju gw. “janji pa Ser?” bales gw sambil ngelepasin tarikan tangan dia. “janji, lo dah kalah kan. Kita bikin perjanjian lo bikin 2 cerpen bwt gw dan gw bikin 2 gambar ‘sakura’ bwt lo. Gw dh nyerahin 2 gambar N lo bru ngasih 1 cerpen bwt gw,” jelas Sera. “trus lo mw hukum gw apa?” Tanya gw. “gw pengen hokum lo, apa ya???????? Lo ga mungkin gw suruh bersihin toilet hums gw,,hMp…gimana klo lo tanyain ke Pandu ttg basket atau hobi dia???” tawar Sera. “GILA lo!!!! Bsa mati berdiri gw ,,,” tolak gw. “knp harus mati berdiri?? Cepet sana!! Kebetulan dia lagi sendirian…klo lo ga mw gw bakal marah sama lo!!!!” ancem Sera. “jangan githu dunk..iya..iya jangan ngambek ya..?” gw emank ga bsa ngeliat Sera marah. Akhirnya gw brani2in nyamperin dia. “kak Pandu!!” panggil gw dgn deg2an. “iya, ada apa?” Tanya dia dgn muka COOLnya. “kak, kakak anak basket ya?” balik tanya gw. “iya,mank knp, btw nama lo siapa??” Tanya dia lagi. “nama aku Icha kak,aku mau tanya guru basket kakak siapa?”jwb gw. “guru basket gw Bu Ririn. Mank knp? Oia lopanggil gw Pandu aja, trus qta ngobrolnya pke lo-gw aja. Kyknya lebih akrab githu.” Tawar Pandu. “Eh iya jga ya…hmmpp..gurunya cewe ya?gpp sich Qo guru cewe bsa ngelatih lo?”Tanya gw. “ya bsa aja. Emank knp si?qo nanya gthu?”balik tanya. “Ga qo …guru cewe bisa bikin Pandu jago main basket ya?” ups apa yg gw bilang, aduh gmana nich…tp qo dia malah ketawa ya?. “ah lo cha bsa aja.”celetuk Pandu. Gw hanya bsa senyum ngeliat Pandu yg lagi keGE-ERan gthu. “Ndu, dah mulai tuch ORnya.”tunjuk gw. “eh,iya gw ksana dulu ya!!!”. Gw ngangguk sambil senyum kecil. Ga nyangka bsa ngobrol sama org yg paling gw sayang,ternyata dia orgnya sik bgt……seandainya dia ga lagi OR pastinya gw bakal ngobrol lebih lama lagi…tapi gpp gw seneng bgt. Gw langsung nemuin Sera bwt bilang makasih bgt gara2 dia gw bsa ngobrol sama pandu.Tapi ga lama gw dapet kabar yg ga enakin bwt diri gw, yg bikin gw sakit bgt…..Pandu dah pnya cewe!!!!!!! Gila gw langsung ‘down’ abizz,,ancur banget gw..gw nangis ga karuan sampe2 gw sering ilang keseimbangan badan, gw sering jatoh sampe keseleo deh…tp rasanya skt kaki gw ga sebanding dgn sktnya hati gw… di tambah lagi gw dapet kbr klo pandu ska gonta ganti cewe, dia ngerokok, ska bolos skul, de el el….Banyak temen gw yg nyuruh gw lupain cowo kyk dia, tapi gw ga bsa….Pa lagi nanti dia bkl pergi dri skul cpz bNtr lagi dia lulus….“Pandu knp jadi kyk gini sich perasaan gw ke lo?????”gumam gw terus menerus.gw sadar Pandu juga ga ska sama gw beda sama mantan2nya yg bsa dBilang sempurna fisik…lama kelamaan gw bener2 ga tahan nahan rasa ini. Akhirnya gw nulis surat bwt dia…………….Jakarta ,30 Maret 2007 Dear Pandu Hi Ndu, gMna kBr lo??? Gw harap baik2 ja. Sory gw lancang ngirim surat ini bwt lo. Abiz gw ga tw lagi cara ngomong masalah ini. Pandu jujur klo gw saiiank bgt sama lo. 1 tahun yg lalu pertama gw ktemu lo gw ga tw perasaan ini..tp lama2 gw ngerti klo gw saiiank lo.. Lo ga perlu tw gw siapa kRna mNrut gw itu ga pNtg… Semoga lo bahagia kRna stiap senyum yg kLuar dari bi2r lo bikin gw bahagia bgt…..Thanks (Someone) Surat ini dikasih melalui temen gw dan pada saat itu gw ada disana. Tampak kebingungan dari mata indah dia dan cewenya jga da dSitu. Gw ga prnh mikirin gMna perasaan cewe itu, kliatan dari muka cewe itu dia rada marah tp bodo amet…..Dan ga lama gw denger Pandu putus sama cewe itu …gw jd ngerasa bersalah sama Pandu. “ahKk, bodo amet emank itu yg gw pgn dia putus sama cewe itu” kata2 itu yg selalu bikin gw brtahan…Gw brthan dgn kta2 itu cMa be2rpa minggu….akhrnya gw mutusin bwt ngomong langsung sama Pandu…gw nyari dia dari ujung kelaz smpe ujung klaz lagi…Dan gw ktemu sama dia… “Pandu!!!!” panggil gw. “da apa cha?”tnya dia. “Ndu lo masih inget soal surat 2 bulan lalu?”tnya gw. “yupz,lo tw siapa org itu?”balik tnya. “Ndu org itu……gw,gw tw lo marah dan kecewa bgt sama gw tp mnk itu perasaan gw..gw ga tw kNp gw bsa saiiank sama org kyk lo… perasaan ini dateng bgitu aja tp ga bsa pergi. Gw ngomong kyk gNi bknnya gw mw mNta lo jd cowo gw,gw hnya mw nyatain doank. Supaya gw tenang nantinya. Gw tw lo ga saiiank sama gw jangankan saiiank suka pun ga kN?????”jelas gw dgn air mata yg mulai terurai. Emank gni rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Pandu hanya bsa diam dan dia hnya bilang “trus mau lo apa?”. Gw diem, mikir, bingung, ga tw apa mw gw setelah ini. “mw gw..gw mw lupain lo. Dan gw harap setelah kejadian ini lo ga brubah sikap sama gw.hnya itu gw janji bkal lupain lo….”perkataan gw itu, janji gw itu ga tw pa gw tepatin tw ga….“OK, gw bkl turutin mw lo. Gw minta maaf ga bsa blz perasaan lo. Udah jgn nangis malu diliat org.” pinta Pandu bwt gw. Seandainya saat itu gw bsa meluk dia…..Setelah kejadian itu dia emank bener ga brubah..itu yg bikin saiiank dia….Malah bsa di bilang lebih baik….Gw rasa gw ga bakal lupa klo gw saiiank sama dia…..Dia manusia terindah gw….
Hanya dia yg bikin gw hidup….
.__________tHe-eNd_______-

Malam - Malam Nina


sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini."Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng."Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina."Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya."Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?""Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu."Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?"Kamu mencintainya, Nina?""Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang."Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar."Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa."Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan."Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku."Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya."Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas."Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku."Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina."Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar."Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku."Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia.""Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?""Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan."Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa."Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!""Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat."Apa yang kau inginkan darinya?""Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. ***